Di media masa dan saat masih awam tentang saham, saya sering membaca dan mendapat saran seperti ini: "Saham yang tahan banting saat kondisi ekonomi lesu dan dan tahan saat krisis adalah saham-saham di sektor konsumer goods. Karena dalam keadaan apapun, orang tetap akan membutuhkan konsumsi, seperti sabun mandi, pasta gigi, mie instan, beras. Jadi saat kondisi ekonomi lesu, saham2 di sektor konsumer goods bisa jadi pilihan yang baik".
Saham2 yang tahan banting dikala kondisi ekonomi sedang lesu ini disebut sebagai SAHAM DEFENSIF. Karena sifatnya yang defensif, saham2 tersebut seringkali dinyatakan sebagai saham yang aman untuk investasi / saham pilihan investasi. Pergerakan harganya tidak mudah turun, dan tidak mudah naik terlalu banyak (volatilitas kecil).
Saham2 defensif ini antara lain adalah INDF, ICBP, GGRM, UNVR, HMSP, AISA. Saya ambil contoh Indofood. Meskipun dalam keadaan ekonomi lesu, masyarakat tetap akan konsumsi mi instan, minyak goreng, kecap, sambal untuk kebutuhan sehari-hari. Contoh lainnya adalah Unilever. Dalam keadaan apapun, masyarakat pasti akan tetap membutuhkan sabun, shampo, pasta gigi.
Jadi, saham2 "tahan banting" pada umumnya adalah saham2 yang perusahaannya produksi makanan, minuman, dan kebutuhan pokok. Karena sifatnya yang "tahan banting", banyak yang beranggapan saham2 tersebut akan mampu bertahan ketika perekonomian Indonesia sedang lesu.
Seiring berjalannya waktu, setelah trading dan sering melewati masa2 kondisi market yang bergejolak (terutama saat tahun 2015), saya bisa menyimpulkan satu hal: TIDAK ADA SAHAM YANG TAHAN BANTING. Nah lho?
Tidak percaya?
Mengapa tidak ada saham tahan banting? Karena ketika kondisi ekonomi sedang lesu, sebagian besar perusahaan (tidak peduli sektor apapun itu) akan terkena imbasnya. Kinerja akan menurun, konsumsi masyarakat turun dan pendapatan akan tertekan. Sentimen negatif dalam negeri, tidak hanya mampu membuat investor keluar dari satu-dua saham saja, namun investor akan keluar besar-besaran (panic selling) pada sebagian besar saham2 di Bursa Efek.
Apalagi jika saham2 tersebut sudah naik banyak sebelumnya, maka ketika tiba2 ekonomi jai lesu. saham2 apapun itu akan anjlok tanpa ampun. Contohnya, saat ekonomi lesu tahun 2015, saham INDF dari harga 8.400 turun ke 4.800. Saham UNVR dari harga 46.000 turun ke 33.000. Saham GGRm dari harga 63.000 turun ke 41.000. Saham ICBP dari harga 15.000 turun ke 11.000. Anehnya, saat itu saham yang tahan banting dan naik sampai 200% adalah saham perusahaan tekstil, yaitu PT Sri Isman Rejeki (SRIL).
Jadi, berhentilah berpikir untuk membeli saham2 konsumer goods pada saat kondisi ekonomi dan kondisi politik sedang mendukung. Di pasar saham tidak ada teori yang mudah untuk diterapkan. Baca juga: Pasar Saham: Ketika Teori Lebih Mudah Ketimbang Praktik.
Jika pasar saham sedang dalam kondisi yang tidak kondusif, strategi terbaik bukan menginvestasikan modal pada saham2 "tahan banting" (consumer goods). Namun, anda harus mengamankan portofolio anda. Sekali lagi, dalam praktikknya, tidak ada saham tahan banting dalam kondisi ekonomi yang sedang jelek.
Saham2 yang tahan banting dikala kondisi ekonomi sedang lesu ini disebut sebagai SAHAM DEFENSIF. Karena sifatnya yang defensif, saham2 tersebut seringkali dinyatakan sebagai saham yang aman untuk investasi / saham pilihan investasi. Pergerakan harganya tidak mudah turun, dan tidak mudah naik terlalu banyak (volatilitas kecil).
Saham2 defensif ini antara lain adalah INDF, ICBP, GGRM, UNVR, HMSP, AISA. Saya ambil contoh Indofood. Meskipun dalam keadaan ekonomi lesu, masyarakat tetap akan konsumsi mi instan, minyak goreng, kecap, sambal untuk kebutuhan sehari-hari. Contoh lainnya adalah Unilever. Dalam keadaan apapun, masyarakat pasti akan tetap membutuhkan sabun, shampo, pasta gigi.
Jadi, saham2 "tahan banting" pada umumnya adalah saham2 yang perusahaannya produksi makanan, minuman, dan kebutuhan pokok. Karena sifatnya yang "tahan banting", banyak yang beranggapan saham2 tersebut akan mampu bertahan ketika perekonomian Indonesia sedang lesu.
Seiring berjalannya waktu, setelah trading dan sering melewati masa2 kondisi market yang bergejolak (terutama saat tahun 2015), saya bisa menyimpulkan satu hal: TIDAK ADA SAHAM YANG TAHAN BANTING. Nah lho?
Tidak percaya?
Mengapa tidak ada saham tahan banting? Karena ketika kondisi ekonomi sedang lesu, sebagian besar perusahaan (tidak peduli sektor apapun itu) akan terkena imbasnya. Kinerja akan menurun, konsumsi masyarakat turun dan pendapatan akan tertekan. Sentimen negatif dalam negeri, tidak hanya mampu membuat investor keluar dari satu-dua saham saja, namun investor akan keluar besar-besaran (panic selling) pada sebagian besar saham2 di Bursa Efek.
Apalagi jika saham2 tersebut sudah naik banyak sebelumnya, maka ketika tiba2 ekonomi jai lesu. saham2 apapun itu akan anjlok tanpa ampun. Contohnya, saat ekonomi lesu tahun 2015, saham INDF dari harga 8.400 turun ke 4.800. Saham UNVR dari harga 46.000 turun ke 33.000. Saham GGRm dari harga 63.000 turun ke 41.000. Saham ICBP dari harga 15.000 turun ke 11.000. Anehnya, saat itu saham yang tahan banting dan naik sampai 200% adalah saham perusahaan tekstil, yaitu PT Sri Isman Rejeki (SRIL).
Jadi, berhentilah berpikir untuk membeli saham2 konsumer goods pada saat kondisi ekonomi dan kondisi politik sedang mendukung. Di pasar saham tidak ada teori yang mudah untuk diterapkan. Baca juga: Pasar Saham: Ketika Teori Lebih Mudah Ketimbang Praktik.
Jika pasar saham sedang dalam kondisi yang tidak kondusif, strategi terbaik bukan menginvestasikan modal pada saham2 "tahan banting" (consumer goods). Namun, anda harus mengamankan portofolio anda. Sekali lagi, dalam praktikknya, tidak ada saham tahan banting dalam kondisi ekonomi yang sedang jelek.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan bertanya apapun tentang saham, saya sangat welcome terhadap komentar rekan-rekan.