Berkali-kali pasar saham Indonesia sering mengalami panic selling. Panic selling (jual panik) sendiri dapat diartikan sebagai aksi jual besar-besaran yang terjadi dalam waktu singat (panik) yang dilakukan oleh pelaku pasar akibat adanya berita buruk yang berdampak pada pasar saham. Perhatikan kata2 terakhir "berdampak pada pasar saham". Yang jadi pertanyaan selanjutnya, seberapa berdampaknya berita buruk terhadap pasar saham?
Ketika terjadi panic selling, biasanya sebagian besar analis, baik analis amatiran maupun analis profesional, termasuk trader2 akan selalu mengatakan bahwa pasar saham akan turun lagi. Atau, "Ini hanyalah permulaan asing jual saham, nanti pasar saham akan turun lagi lebih banyak". Tapi, dari banyak pendapat dan komentar para trader, menurut pandangan saya ternyata banyak juga yang sengaja ngisruh dengan menuliskan IHSG akan jatuh lagi sampai 4.000 bla bla bla dengan tujuan membuat situasi jadi lebih panik.
Biasanya pemula yang mendengar ocehan2 ini langsung panic, dan mulai takut untuk trading. Padahal, dampak berita buruk terhadap pasar saham belum tentu sebesar seperti apa yang ditakutkan.
"Terus Bung Heze, dalam hal apa panic selling itu wajar dan tidak wajar?" Tanya anda
Panic selling bisa terjadi tidak hanya pada IHSG, tapi bisa terjadi pada satu saham saja akibat berita buruk. Tetapi di pos ini, saya akan bahas panic selling dilihat dari market keseluruhan, yaitu IHSG-nya. Karena panic-nya bersifat global, maka turut menekan sebagan besar harga saham. Panic selling terjadi karena dua hal: Kondisi ekonomi dalam negeri yang sedang buruk (faktor internal) dan kondisi luar negeri (faktor eksternal).
Panic selling di Indonesia salah salah satunya pernah terjadi pada tahun 2015, saat kondisi perekonomian Indonesia sedang lesu. Mulai sejak akhir April 2015 sampai dengan Oktober 2015, terjadi aksi jual saham besar-besaran. Ketika usaha2 rugi, pertumbuhan ekonomi melemah, dan hampir semua sektor usaha pada lesu, saat itulah para pelaku pasar mulai menjual portofolionya.
Panic selling yang terjadi karena kondisi ekonomi Indonesia / faktor internal inilah yang patut anda waspadai, karena kondisi ini biasanya terjadi dalam jangka waktu yang lumayan lama. Tahun 2015, terhitung sekitar 6 bulan lebih pasar saham Indonesia anjlok. IHSG yang awalnya ada di angka 5.524 anjlok sampai 4.200. Kalau anda sudah melihat kondisi ekonomi Indonesia yang kurang enak, ada baiknya anda segera jual portofolio anda.
Kondisi ekonomi Indonesia yang sudah mulai lesu, biasanya malah diawali dengan euforia pasar, tetapi tidak diiringi dengan fundamental ekonomi yang baik. Inilah yang dinamakan dengan bubble (gelembung). Jika suatu saat gelembungnya pecah, maka sudah bisa ditebak, IHSG akan jatuh dan pelaku pasar akan melakukan panic selling. Inilah yang tejradi pada tahun 2015.
Panic selling yang kedua, terjadi karena faktor eksternal / luar negeri. Panic selling karena faktor eksternal inilah yang seringkali membuat saya (dan mungkin juga anda) bertanya-tanya, kok bisa sih luar negeri yang bermasalah, pasar saham Indonesia ikut-ikutan jatuh?
Contohnya ketika Donald Trump terpilih menjadi presiden, tidak hanya pasar saham AS yang anjlok, tetapi juga di pasar saham Indonesia. Contoh lainnya, ketika Inggris keular dari Uni Eropa atau istilahnya Brexit, maka dalam sehari pasar saham Indonesia langsung anjlok.
Saat pelaku pasar mulai menunjukkan sikap panic selling, maka seperti yang sudah saya katakan tadi, para analis pro maupun amatir, para trader mulai mengatakan: "Pasar saham akan turun lebih dalam". "Ini baru permulaan jatuhnya IHSG". "IHSG going to 4.000" Dan masih buanyaak lagi ocehan2 yang mirip2.
Kenyataanya? Seperti yang anda tahu sendiri, dampak Brexit hanya sehari saja ke pasar saham Indonesia. Trump Effect juga tidak berdampak lama, karena setelah itu IHSG mulai balik naik dari 5.000 dan menguji resisten 5.300. Ternyata apa yang ditakutkan sama sekali tidak terbukti.
Jadi, yang perlu anda waspadai adalah ketika panic selling itu terjadi pada faktor internal. Karena kalau ekonomi Indonesia sedang dalam kondisi yang kurang baik, suka tidak suka IHSG pasti akan langsung anjlok, dan anjloknya tidak hanya dalam beberapa hari saja. Kalau panic selling terjadi karena faktor eskternal, maka hal itu sifatnya cuma sementara. Karena biar bagaimanapun juga, Indonesia tidak akan merasakan dampak secara langsung dari adanya Brexit, Trump Effect maupun dampak2 yang terjadi di luar negeri lainnya.
Kalau IHSG jatuh karena pemilu luar negeri, atau ada konflik luar negeri (yang sejatinya tidak ada pengaruhnya apapun ke Indonesia), maka anda jangan panik. Anda bisa kurangi dahulu belanja saham anda, dan menunggu buy lagi di harga bawah. Justru kalau anda panik, takut trading, dan ketika saatnya IHSG sudah rebound (karena penurunan IHSG karena faktor eskternal biasanya hanya sebentar), anda akan ketinggalan kereta. Sayang sekali kan?
Panic selling yang terjadi karena kondisi ekonomi Indonesia / faktor internal inilah yang patut anda waspadai, karena kondisi ini biasanya terjadi dalam jangka waktu yang lumayan lama. Tahun 2015, terhitung sekitar 6 bulan lebih pasar saham Indonesia anjlok. IHSG yang awalnya ada di angka 5.524 anjlok sampai 4.200. Kalau anda sudah melihat kondisi ekonomi Indonesia yang kurang enak, ada baiknya anda segera jual portofolio anda.
Kondisi ekonomi Indonesia yang sudah mulai lesu, biasanya malah diawali dengan euforia pasar, tetapi tidak diiringi dengan fundamental ekonomi yang baik. Inilah yang dinamakan dengan bubble (gelembung). Jika suatu saat gelembungnya pecah, maka sudah bisa ditebak, IHSG akan jatuh dan pelaku pasar akan melakukan panic selling. Inilah yang tejradi pada tahun 2015.
Panic selling yang kedua, terjadi karena faktor eksternal / luar negeri. Panic selling karena faktor eksternal inilah yang seringkali membuat saya (dan mungkin juga anda) bertanya-tanya, kok bisa sih luar negeri yang bermasalah, pasar saham Indonesia ikut-ikutan jatuh?
Contohnya ketika Donald Trump terpilih menjadi presiden, tidak hanya pasar saham AS yang anjlok, tetapi juga di pasar saham Indonesia. Contoh lainnya, ketika Inggris keular dari Uni Eropa atau istilahnya Brexit, maka dalam sehari pasar saham Indonesia langsung anjlok.
Saat pelaku pasar mulai menunjukkan sikap panic selling, maka seperti yang sudah saya katakan tadi, para analis pro maupun amatir, para trader mulai mengatakan: "Pasar saham akan turun lebih dalam". "Ini baru permulaan jatuhnya IHSG". "IHSG going to 4.000" Dan masih buanyaak lagi ocehan2 yang mirip2.
Kenyataanya? Seperti yang anda tahu sendiri, dampak Brexit hanya sehari saja ke pasar saham Indonesia. Trump Effect juga tidak berdampak lama, karena setelah itu IHSG mulai balik naik dari 5.000 dan menguji resisten 5.300. Ternyata apa yang ditakutkan sama sekali tidak terbukti.
Jadi, yang perlu anda waspadai adalah ketika panic selling itu terjadi pada faktor internal. Karena kalau ekonomi Indonesia sedang dalam kondisi yang kurang baik, suka tidak suka IHSG pasti akan langsung anjlok, dan anjloknya tidak hanya dalam beberapa hari saja. Kalau panic selling terjadi karena faktor eskternal, maka hal itu sifatnya cuma sementara. Karena biar bagaimanapun juga, Indonesia tidak akan merasakan dampak secara langsung dari adanya Brexit, Trump Effect maupun dampak2 yang terjadi di luar negeri lainnya.
Kalau IHSG jatuh karena pemilu luar negeri, atau ada konflik luar negeri (yang sejatinya tidak ada pengaruhnya apapun ke Indonesia), maka anda jangan panik. Anda bisa kurangi dahulu belanja saham anda, dan menunggu buy lagi di harga bawah. Justru kalau anda panik, takut trading, dan ketika saatnya IHSG sudah rebound (karena penurunan IHSG karena faktor eskternal biasanya hanya sebentar), anda akan ketinggalan kereta. Sayang sekali kan?
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan bertanya apapun tentang saham, saya sangat welcome terhadap komentar rekan-rekan.