Dalam dunia ekonomi dan pasar saham, kita mengenal adanya istilah 'Siklus Pasar 10 Tahunan'. Saya juga pernah membahasnya secara lengkap. Anda bisa baca-baca lagi disini: Siklus Pasar Saham 10 Tahunan. Siklus pasar 10 tahunan ini ada yang mengatakan terjadi setiap 10 tahun di tahun 1997, 2007, 2017 dan seterusnya.
Sedangkan ada pula yang mengatakan siklus terjadi mulai tahun 1998, 2008, 2018 dan seterusnya. Kalau kita mengacu pada tahunnya, maka 10 tahun jatuh tepat pada tahun 2018 nanti. Memang, sudah banyak yang mengkhawatirkan akan terjadi krisis di tahun 2018.
Karena tahun 1997-1998 terjadi krisis moneter besar-besaran, lalu 10 tahun kemudian, yaitu di tahun 2008 terjadi penurunan harga saham secara drastis (Semuanya terjadi setiap 10 tahun). Maka, apakah 10 tahun kemudian, yaitu di tahun 2018 akan terjadi krisis seperti 10 tahun sebelumnya?
Yang perlu kita ketahui, selama ini penyebab terjadinya krisis itu umumnya dikrenakan 2 hal utama: Gejolak ekonomi makro dan bubble ekonomi. Gejolak ekonomi makro ini terlihat dari adanya adalah utang pemerintah yang membengkak, inflasi yang semakin tinggi dan tidak terkendali, harga2 bahan pangan meroket secara drastis, nilai mata uang Rupiah terus melemah.
Krisis ekonomi 1997-1998
Tahun 1997, rasio utang pemerintah adalah sekitar 60% terhadap PDB. Sedangkan pada tahun 1998, rasio utang terhadap pemerintah membengkak menjadi 150% terhadap PDB. Di sisi lain, tahun 1997-1998 Indonesia memang sedang menghadapi masa2 ekonomi yang sangat susah.
Mata uang Rupiah terus melemah, inflasi tidak terkendali, hingga adanya rush money yang mengancam kelangsungan Bank BCA. Sehingga tidak heran kalau saham2 di Bursa Efek saat itu benar2 anjlok hingga saham2 nyaris tidak ada nilainya.
Krisis ekonomi 2008
Tahun 2008 sebenarnya kondisi perekonomian Indonesia tidaklah buruk. Tahun 2008, rasio utang pemerintah adalah sekitar 33% terhadap PDB. Selain itu, tahun 2008 perbankan di Indonesia tidak mengalami masalah2 besar, seperti rush money pada tahun 1998. Artinya, ekonomi Indonesia tahun 2008 jauh lebih sehat dibandingkan ekonomi 1997-1998.
Lantas apa yang membuat harga saham tahun 2008 anjlok? Banyak yang menghubungkan hal ini dengan krisis ekonomi di AS karena bubble properti.
Tetapi sekali lagi, kondisi ekonomi kita tahun 2008 sejatinya tidak buruk, sehingga dampak bubble properti di AS tidak terlalu berimbas ke negara kita. Pasar saham tahun 2008 anjlok karena banyak trader yang menggunakan fasilitas margin, dan akhirnya terkena force sell dalam jumlah besar. Baca juga: Force Sell di Pasar Saham.
Di satu sisi, tahun 2008 fasilitas short sell masih diperbolehkan oleh Bursa Efek. Baca juga: Order yang Dilarang di Pasar Saham. Short sell inilah yang juga menyebabkan harga saham bisa jatuh dengan cepat, apalagi kalau ada banyak pemain besar (bandar) yang kompak untuk melakukan jual kosong di saat yang bersamaan.
Jadi, penyebab turunnya harga saham secara drastis di tahun 2008 sejatinya bukan karena krisis di Indonesia, tapi karena MEKANISME perdagangan di Bursa Efek belum diatur dengan baik. Artinya, penyebab jatuhnya harga saham di tahun 2008 lebih dikarenakan adanya bubble pada IHSG itu sendiri.
Potensi krisis ekonomi 2018
Sekarang kita sudah mengetahui apa yang menyebabkan pasar saham jatuh. Jadi, apakah di tahun 2018 indikasi2 krisis ekonomi tersebut sudah terlihat? Untuk menjawab keraguan para trader dan investor saham, ada baiknya kita mengetahui beberapa fakta tentang ekonomi dan pasar saham Indonesia di tahun 2017.
Ekonomi Indonesia tahun 2017 tidak dapat dikatakan buruk. Kita bisa lihat beberapa indikatornya. Rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 27,9%. Rasio utang ini masih jauh lebih rendah dibandingkan rasio utang tahun 1997-1998 dan juga tahun 2008 (33%).
Sedangkan Sri Mulyani sendiri mengatakan bahwa di tahun 2017 ini, rasio utang pemerintah terhadap PDB akan dipertahankan maksimal di angka 30%.
Indikator lainnya, adalah inflasi. Kita lihat inflasi bulanan tahun 2017 bisa terjaga di level -4% saja. Hal ini berbeda dengan tahun 2013-2014 misalnya, di mana inflasi bulanan kita bisa mencapai 7%. Pemerintah memang sedang gencar menjaga nilai inflasi, salah satunya dengan mengendalikan harga pangan.
Karena kalau kita lihat di negara2 maju seperti AS, inflasi hanya berada di kisaran 1-2% saja. Lalu di tahun 2017, kita bisa melihat kinerja emiten2 di Indonesia yang masih membukukan laba yang cemerlang hingga kuartal III ini.
Di sisi lain, pertumbuhan kinerja emiten2 kita juga tidak buruk, walaupun tidak dapat dikatakan super bagus. Emiten2 blue chip, seperti perbankan (BBRI, BBCA, BBNI, BMRI), UNVR dan lain2 masih membukukan kenaikan laba yang stabil. Tidak ada tanda2 bahwa emiten2 sedang lesu atau sulit membukukan kenaikan penjualan.
Sehingga, kalau kita lihat tren laba sebagian perusahaan yang terus naik, kemungkinan besar sampai laba tahunan (audited) nanti, emiten2 tersebut masih akan tetap membukukan kenaikan laba.
Dari fakta2 ekonomi Indonesia ini sebenarnya kita tidak menemukan alasan untuk mengatakan bahwa akan terjadi krisis ekonomi.
Tapi......
Kalau kita lihat pergerakan IHSG selama 11 bulan di tahun 2017, IHSG nyaris tidak mengalami koreksi yang berarti. IHSG justru naikkkk terus sampai nyaris menyentuh 6.100.
Di sisi lain, bursa Amerika ternyata juga mengalami hal yang sama. Bursa Amerika juga terus menanjak tanpa adanya koreksi yang signifikan, padahal perekonomian AS juga nggak bagus2 amat, dan kita juga tahu bahwa politik di AS sedang ada sedikit gejolak, misalnya ancaman perang rudal antara AS dengan Korut.
Melihat pergerakan IHSG dan juga bursa luar negeri yang terus naik, hal ini justru adalah hal yang berbahaya untuk IHSG. Kenapa?
Sepengalaman saya, IHSG tidak mungkin akan naik terus. Kalaupun IHSG naik terus, di satu titik IHSG pasti akan mengalami koreksi besar. Nah, kalau IHSG naik terus tanpa koreksi yang berarti (seperti sekarang ini), maka hal ini bisa menimbulkan adanya potensi terjadi bubble (gelembung). Kalau di satu titik gelembung ini pecah, maka dampaknya IHSG bisa jatuh alias koreksi besar.
Sedikit kabar baiknya, tanggal 30 November 2017 IHSG kita sempat ditutup turun -1,80%!! dari 6.045 menjadi 5.952 di sesi penutupan. Kenapa saya katakan sedikit kabar baik? Saya bukannya berharap IHSG drop atau berharap yang jelek2 atau apapun itu.
Namun, IHSG kita ini sebenarnya membutuhkan koreksi sehat. Koreksi sehat ini dibutuhkan agar meminimalkan risiko terjadi bubble. Kalau kita tarik kebelakang lagi ke 10 tahun lalu (tahun 2008), penyebab jatuhnya IHSG (seperti yang saya katakan) sesungguhnya bukan karena krisis, tapi karena bubble pada IHSG itu sendiri.
So, apakah mungkin tahun 2018 akan terjadi koreksi besar di pasar saham?
Kita harus lihat dulu apakah di Bulan Desember nanti IHSG akan ada kecenderungan koreksi. Memang di Bulan November IHSG kita cenderung koreksi, tapi koreksinya bukanlah koreksi besar.
Nah, kalau Bulan Desember IHSG koreksi, maka potensi terjadinya bubble di tahun 2018 akan semakin kecil. Tapi kalau Bulan Desember IHSG naik terus (mungkin karena Santa Claus Rally), maka kemungkinan IHSG lebih rawan jatuh di tahun depan.
Namun kecenderungan IHSG di akhir tahun hingga awal tahun depan - bulan April biasanya IHSG justru akan cenderung naik, karena di awal2 tahun itu IHSG kita banyak sentimen positif.
Misalnya, rilisnya laporan tahunan, pembagian dividen (biasanya saham2 blue chip akan naik kencang), dan awal tahun umumnya dijadikan momen akumulasi saham.
Jadi kalau memang nanti IHSG cenderung naik terus, maka mungkin di Bulan Mei, pertengahan tahun atau Agustus, di situlah titik di mana IHSG akan cenderung koreksi, dan kalau terjadi koreksi besar, terutama karena bursa AS sendiri sudah naik kencang terus, maka mungkin kita bisa menyebutnya sebagai bubble kecil. Dan koreksi mungkin akan banyak terjadi pada saham2 blue chip yang memang sudah 'disetting' untuk mengerek IHSG kita setinggi mungkin di tahun 2017, sehingga kemungkinan besar akan terjadi aksi profit taking yang besar.
Jadi kesimpulannya, dari sisi gejolak ekonomi makro dan mikro dalam negeri, kita tidak melihat adanya tanda2 krisis. Tapi dari sisi kemungkinan terjadi bubble, terutama bubble pada IHSG, maka potensi bubble ini bisa saja terjadi.
Krisis ekonomi 1997-1998
Tahun 1997, rasio utang pemerintah adalah sekitar 60% terhadap PDB. Sedangkan pada tahun 1998, rasio utang terhadap pemerintah membengkak menjadi 150% terhadap PDB. Di sisi lain, tahun 1997-1998 Indonesia memang sedang menghadapi masa2 ekonomi yang sangat susah.
Mata uang Rupiah terus melemah, inflasi tidak terkendali, hingga adanya rush money yang mengancam kelangsungan Bank BCA. Sehingga tidak heran kalau saham2 di Bursa Efek saat itu benar2 anjlok hingga saham2 nyaris tidak ada nilainya.
Krisis ekonomi 2008
Tahun 2008 sebenarnya kondisi perekonomian Indonesia tidaklah buruk. Tahun 2008, rasio utang pemerintah adalah sekitar 33% terhadap PDB. Selain itu, tahun 2008 perbankan di Indonesia tidak mengalami masalah2 besar, seperti rush money pada tahun 1998. Artinya, ekonomi Indonesia tahun 2008 jauh lebih sehat dibandingkan ekonomi 1997-1998.
Lantas apa yang membuat harga saham tahun 2008 anjlok? Banyak yang menghubungkan hal ini dengan krisis ekonomi di AS karena bubble properti.
Tetapi sekali lagi, kondisi ekonomi kita tahun 2008 sejatinya tidak buruk, sehingga dampak bubble properti di AS tidak terlalu berimbas ke negara kita. Pasar saham tahun 2008 anjlok karena banyak trader yang menggunakan fasilitas margin, dan akhirnya terkena force sell dalam jumlah besar. Baca juga: Force Sell di Pasar Saham.
Di satu sisi, tahun 2008 fasilitas short sell masih diperbolehkan oleh Bursa Efek. Baca juga: Order yang Dilarang di Pasar Saham. Short sell inilah yang juga menyebabkan harga saham bisa jatuh dengan cepat, apalagi kalau ada banyak pemain besar (bandar) yang kompak untuk melakukan jual kosong di saat yang bersamaan.
Jadi, penyebab turunnya harga saham secara drastis di tahun 2008 sejatinya bukan karena krisis di Indonesia, tapi karena MEKANISME perdagangan di Bursa Efek belum diatur dengan baik. Artinya, penyebab jatuhnya harga saham di tahun 2008 lebih dikarenakan adanya bubble pada IHSG itu sendiri.
Potensi krisis ekonomi 2018
Sekarang kita sudah mengetahui apa yang menyebabkan pasar saham jatuh. Jadi, apakah di tahun 2018 indikasi2 krisis ekonomi tersebut sudah terlihat? Untuk menjawab keraguan para trader dan investor saham, ada baiknya kita mengetahui beberapa fakta tentang ekonomi dan pasar saham Indonesia di tahun 2017.
Ekonomi Indonesia tahun 2017 tidak dapat dikatakan buruk. Kita bisa lihat beberapa indikatornya. Rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 27,9%. Rasio utang ini masih jauh lebih rendah dibandingkan rasio utang tahun 1997-1998 dan juga tahun 2008 (33%).
Sedangkan Sri Mulyani sendiri mengatakan bahwa di tahun 2017 ini, rasio utang pemerintah terhadap PDB akan dipertahankan maksimal di angka 30%.
Indikator lainnya, adalah inflasi. Kita lihat inflasi bulanan tahun 2017 bisa terjaga di level -4% saja. Hal ini berbeda dengan tahun 2013-2014 misalnya, di mana inflasi bulanan kita bisa mencapai 7%. Pemerintah memang sedang gencar menjaga nilai inflasi, salah satunya dengan mengendalikan harga pangan.
Karena kalau kita lihat di negara2 maju seperti AS, inflasi hanya berada di kisaran 1-2% saja. Lalu di tahun 2017, kita bisa melihat kinerja emiten2 di Indonesia yang masih membukukan laba yang cemerlang hingga kuartal III ini.
Di sisi lain, pertumbuhan kinerja emiten2 kita juga tidak buruk, walaupun tidak dapat dikatakan super bagus. Emiten2 blue chip, seperti perbankan (BBRI, BBCA, BBNI, BMRI), UNVR dan lain2 masih membukukan kenaikan laba yang stabil. Tidak ada tanda2 bahwa emiten2 sedang lesu atau sulit membukukan kenaikan penjualan.
Sehingga, kalau kita lihat tren laba sebagian perusahaan yang terus naik, kemungkinan besar sampai laba tahunan (audited) nanti, emiten2 tersebut masih akan tetap membukukan kenaikan laba.
Dari fakta2 ekonomi Indonesia ini sebenarnya kita tidak menemukan alasan untuk mengatakan bahwa akan terjadi krisis ekonomi.
Tapi......
Kalau kita lihat pergerakan IHSG selama 11 bulan di tahun 2017, IHSG nyaris tidak mengalami koreksi yang berarti. IHSG justru naikkkk terus sampai nyaris menyentuh 6.100.
Di sisi lain, bursa Amerika ternyata juga mengalami hal yang sama. Bursa Amerika juga terus menanjak tanpa adanya koreksi yang signifikan, padahal perekonomian AS juga nggak bagus2 amat, dan kita juga tahu bahwa politik di AS sedang ada sedikit gejolak, misalnya ancaman perang rudal antara AS dengan Korut.
Melihat pergerakan IHSG dan juga bursa luar negeri yang terus naik, hal ini justru adalah hal yang berbahaya untuk IHSG. Kenapa?
Sepengalaman saya, IHSG tidak mungkin akan naik terus. Kalaupun IHSG naik terus, di satu titik IHSG pasti akan mengalami koreksi besar. Nah, kalau IHSG naik terus tanpa koreksi yang berarti (seperti sekarang ini), maka hal ini bisa menimbulkan adanya potensi terjadi bubble (gelembung). Kalau di satu titik gelembung ini pecah, maka dampaknya IHSG bisa jatuh alias koreksi besar.
Sedikit kabar baiknya, tanggal 30 November 2017 IHSG kita sempat ditutup turun -1,80%!! dari 6.045 menjadi 5.952 di sesi penutupan. Kenapa saya katakan sedikit kabar baik? Saya bukannya berharap IHSG drop atau berharap yang jelek2 atau apapun itu.
Namun, IHSG kita ini sebenarnya membutuhkan koreksi sehat. Koreksi sehat ini dibutuhkan agar meminimalkan risiko terjadi bubble. Kalau kita tarik kebelakang lagi ke 10 tahun lalu (tahun 2008), penyebab jatuhnya IHSG (seperti yang saya katakan) sesungguhnya bukan karena krisis, tapi karena bubble pada IHSG itu sendiri.
So, apakah mungkin tahun 2018 akan terjadi koreksi besar di pasar saham?
Kita harus lihat dulu apakah di Bulan Desember nanti IHSG akan ada kecenderungan koreksi. Memang di Bulan November IHSG kita cenderung koreksi, tapi koreksinya bukanlah koreksi besar.
Nah, kalau Bulan Desember IHSG koreksi, maka potensi terjadinya bubble di tahun 2018 akan semakin kecil. Tapi kalau Bulan Desember IHSG naik terus (mungkin karena Santa Claus Rally), maka kemungkinan IHSG lebih rawan jatuh di tahun depan.
Namun kecenderungan IHSG di akhir tahun hingga awal tahun depan - bulan April biasanya IHSG justru akan cenderung naik, karena di awal2 tahun itu IHSG kita banyak sentimen positif.
Misalnya, rilisnya laporan tahunan, pembagian dividen (biasanya saham2 blue chip akan naik kencang), dan awal tahun umumnya dijadikan momen akumulasi saham.
Jadi kalau memang nanti IHSG cenderung naik terus, maka mungkin di Bulan Mei, pertengahan tahun atau Agustus, di situlah titik di mana IHSG akan cenderung koreksi, dan kalau terjadi koreksi besar, terutama karena bursa AS sendiri sudah naik kencang terus, maka mungkin kita bisa menyebutnya sebagai bubble kecil. Dan koreksi mungkin akan banyak terjadi pada saham2 blue chip yang memang sudah 'disetting' untuk mengerek IHSG kita setinggi mungkin di tahun 2017, sehingga kemungkinan besar akan terjadi aksi profit taking yang besar.
Jadi kesimpulannya, dari sisi gejolak ekonomi makro dan mikro dalam negeri, kita tidak melihat adanya tanda2 krisis. Tapi dari sisi kemungkinan terjadi bubble, terutama bubble pada IHSG, maka potensi bubble ini bisa saja terjadi.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan bertanya apapun tentang saham, saya sangat welcome terhadap komentar rekan-rekan.