Belakangan ini ramai isu resesi global, dan potensi terjadinya kembali crash market di Indonesia. Setiap kali IHSG turun, selalu dikaitkan dengan resesi, krisis ekonomi, dan crash market (IHSG). Awal perbincangan resesi diawali sejak perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan kelangkaan komoditas (sehingga harga-harga komoditas naik tajam), dan mengakibatkan terjadinya perlambatan ekonomi akibat sanksi perang.
Inflasi AS sudah menyentuh angka 9,1%. Hal ini menyebabkan The FED (bank sentral Amerika) harus menaikkan suku bunga acuan untuk memerangi inflasi.
Kenaikan suku bunga acuan secara terus menerus dapat menghambat laju pertumbuhan ekonomi, yang pada akhirnya menimbulkan potensi resesi.
Negara-negara Eropa juga mengalami masalah kelangkaan komoditas, sanksi perang, sehingga banyak negara Eropa berisiko masuk ke jurang resesi.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Kondisi Indonesia sebenarnya berbeda dengan Amerika, dan kebanyakan negara Eropa, atau negara seperti Sri Lanka, atau negara-negara dengan rasio utang diatas 100% seperti Jepang, Sudan, Yunani, Italia dan lain-lain, di mana negara-negara tersebut berisiko lebih besar terkena resesi.
So far, Indonesia jauh dari ancaman resesi. IMF menyebutkan bahwa Indonesia hanya berpotensi terkena resesi sebesar 3%. Berikut data potensi resesi global pada beberapa negara, termasuk Indonesia:
Indonesia diuntungkan dengan beberapa kondisi berikut:
1. Indonesia diuntungkan sebagai eksportir komoditas
Indonesia adalah salah satu negara eksportir komoditas terbesar, terutama batu bara, CPO, timah dan lain-lain. Dengan kenaikan harga komoditas, Indonesia bisa memanfaatkan ekspor dengan harga yang jauh lebih tinggi, sehingga dapat meningkatkan surplus neraca perdagangan.
Sepanjang tahun ini, Indonesia berhasil mencatatkan surplus neraca perdangangan. Per Juni 2022, Indonesia berhasil surplus 5,09 miliar Dollar AS. Surplus ini didapatkan dari ekspor komoditas yang tinggi, sehingga menyumbang pendapatan negara yang besar.
Hal ini berbeda dengan negara-negara importir komoditas, seperti negara-negara Eropa, atau Sri Lanka misalnya.
2. Kondisi ekonomi Indonesia
GDP Indonesia di kuartal I / 2022, GDP tumbuh positif sebesar 5,01%. Proyeksi PDB Indonesia di tahun 2022 sebesar 4,7-5%. Beberapa data ekonomi yang baru rilis, seperti pertumbuhan penjulan ritel tumbuh positif sebesar 15,4% pada Juni 2022.
Penyaluran kredit perbankan juga masih tumbuh di kisaran 8-10% hingga semester 1 ini. Beberapa emiten sudah mulai merilis laporan kuartal 2, dan mayoritas masih membukukan pertumbuhan net profit.
Resesi sendiri dapat diartikan sebagai penurunan pertumbuhan ekonomi ke teritori negatif selama 2 kuartal berturut-turut. Beberapa tanda-tanda akan terjadi resesi biasanya terjadi penurunan daya beli yang signifikan, mayoritas pertumbuhan net profit perusahaan menurun, sehingga menyebabkan kepanikan di market.
Namun sekarang kita tidak melihat hal-hal tersebut terjadi di market Indonesia. Artinya, sampai saat ini Indonesia masih aman dari jurang resesi.
3. Rasio utang terhadap PDB dibatas wajar
Rasio utang pemerintah terhadap PDB saat ini adalah sekitar 39%, di mana rasio utang mulai berbahaya apabila sudah mencapai diatas 60% dari PDB. Jadi dalam melihat utang negara, kita tidak hanya melihat berapa nominalnya. Namun perlu dibandingkan dengan PDB negara.
Sedangkan negara-negara yang memiliki potensi terkena resesi, umumnya juga memiliki rasio utang yang sangat besar. Contohnya Ghana (82,3%), El Salvador (87%), Ukraina (64%).
4. Inflasi relatif terjaga + suku bunga rendah
Inflasi tahunan Indonesia sudah mencapai 4,35% (meleset dari target BI di kisaran 4,2%), namun tingkat inflasi masih cukup terjaga, dengan core inflation masih di kisaran 2,6% (dibawah 3%).
Walaupun inflasi dalam beberapa bulan masih diprediksi akan meningkat, namun Bank Indonesia masih punya "senjata pamungkas" untuk menaikkan suku bunga, sehingga tren inflasi meskipun naik, namun tetap akan terkontrol.
Mengingat suku bunga kita masih rendah, karena belum naik dalam 18 bulan, maka ketika BI menaikkan suku bunga, dampaknya akan meredam inflasi, dan dampak jangka menengah-panjang akan lebih baik untuk pertumbuhan ekonomi, meskipun jangka pendek pasar saham mungkin akan tertekan karena return di pasar uang lebih menarik.
5. Banyak saham undervalued
Potensi crash market biasanya terlihat dari banyaknya saham yang sudah overvalued, tapi masih naik terus. Di satu sisi, kondisi ekonomi sedang jelek.
Kalau kita perhatikan, di Bursa Efek masih banyak saham fundamental bagus yang undervalued, seperti saham-saham batu bara (ADRO, PTBA, UNTR), INDF, INKP, JPFA, ASII dan masih banyak lainnya.
Kondisi ini berbeda dengan kondisi pasar saham AS, di mana tahun 2021 lalu, saham-saham di Amerika Serikat banyak yang naik, karena stimulus yang digelontorkan oleh The FED untuk meningkatkan perekonomian, tetapi saat ini saham-saham di Amerika menjadi overvalued, dengan inflasi 9,1%.
Fakta-fakta inilah yang membuat Indonesia relatif aman dari resesi dan crash market. Indonesia sendiri sudah melalui crash market dan resesi di tahun 2020 lalu. Di tahun 2021, IHSG juga tidak bergerak strong bullish.
TERUS, KENAPA IHSG TURUN?
Sejak bulan akhir Januari-April, IHSG terus rally dari 6.500-an sampai menembus all time high 7.355. Jadi ya wajar saja kalau IHSG sekarang koreksi. Penurunan IHSG di bulan Mei pun hanya terjadi selama 1 minggu.
Setelah itu, IHSG berhasil menembus kembali 7.200 pada 9 Juni. Jadi, ya sangat wajar kalau IHSG sekarang koreksi. Karena dalam historis IHSG, tidak mungkin sepanjang tahun IHSG naik terus, sebagus apapun marketnya. Pasti ada bulan-bulan di mana IHSG koreksi.
Faktor psikologis market juga mempengaruhi turunnya IHSG dibawah level 7.000. Karena banyak berita negatif (inflasi, risiko resesi), di satu sisi IHSG sudah naik tinggi, maka para pelaku pasar yang sudah dapat saham di harga bawah, akan melakukan aksi take profit, yang menyebabkan IHSG turun.
Tetapi untuk mengambil keputusan trading ataupun investasi, kita harus kembali ke faktor fundamental.
Kalau teman-teman sudah masuk pasar saham tahun 2018, di tahun tersebut juga banyak kekhawatiran terjadi resesi dan crash market, karena banyak analisa adanya siklus market 10 tahunan (1998 dan 2008 Indonesia pernah mengalami crash market).
Namun ternyata crash market tidak terjadi di tahun 2018. Itu semua karena kembali ke faktor fundamental, di mana tahun 2018 tidak ada tanda-tanda resesi, sehingga penurunan harga saham justru merupakan peluang untuk koleksi saham-saham bagus.
STRATEGI INVESTASI SAHAM
Kesimpulannya, Indonesia memang jauh dari jurang resesi dan crash market. Resesi maupun crash market, sudah kita lalui pada tahun 2020 lalu.
Namun mengingat sekarang adalah periode inflasi tinggi, Rupiah melemah dan potensi kenaikan suku bunga BI, maka sebaiknya investor juga lebih selektif dalam memilih saham-saham yang fundamentalnya baik, dan valuasinya masih murah.
Pada pos ini: Inflasi Tinggi & Suku Bunga Naik: Sektor Saham yang Bagus dan Tertekan?, kita sudah membahas sektor-sektor yang diuntungkan saat periode inflasi tinggi, dan sektor-sektor yang berpotensi tertekan, dan masih layak untuk dikoleksi.
Perlu pertimbangkan juga untuk melakukan diversifikasi sektor / saham. Karena data-data makro Indonesia tidak menunjukkan tanda-tanda crash market/ resesi, maka koreksi harga saham adalah kesempatan yang bagus untuk membeli atau menambah porsi saham-saham yang bagus.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan bertanya apapun tentang saham, saya sangat welcome terhadap komentar rekan-rekan.